Laman

Jumat, 19 Maret 2010

Ignatius de Loyola

Namanya Ignatius de Loyola. Sebuah nama yang sebenarnya ingin kuberikan pada anakku lelaki, atau bahkan perempuan, seandainya aku punya anak. Ternyata sampai usiaku empatpuluh dua tahun, jangankan anak, suami pun aku tak punya. Jadi impian punya anak yang akan kupanggil Ignace, berantakan sudah.

Seperti namanya yang indah, orangnya pun elok dipandang. Tinggi, besar, rambutnya pendek yang sebagian selalu jatuh di keningnya, matanya lebar dengan bola mata cokelat jernih dan hidungnya mancung. Agak terlalu putih untuk ukuran laki-laki, menurutku. Tapi tetap saja sedap dipandang.

Kami belum pernah bertemu sebelumnya. Komunikasi kami hanya lewat SMS. Itu pun tak bertubi-tubi. Biasa saja. Tak ada foto. Jadi aku tak punya gambaran apapun tentang rupanya. Namun begitu pertamakali melihatnya di bandara waktu aku menjemputnya, bahkan sebelum dia melihatku, aku langsung tahu dialah yang namanya Ignatius de Loyola. Jadi kubiarkan saja dia celingukan mencariku barang beberapa menit sambil kupandangi dari jauh. Karena tak sabar, dia telepon aku. “Kamu di mana?” tanyanya. Itu pertamakali kudengar suaranya. Sepersekian detik kemudian dia menemukanku.

Aku belum jatuh cinta padanya.

Dalam taksi dan dalam kereta api yang membawa kami ke Bandung, kami hanya basa basi bicara soal perjalanannya ke Jakarta. Aku malah berpikir-pikir, apa yang akan kulakukan bersama anak kecil yang duabelas tahun lebih muda daripadaku ini selama lima hari?

Di Bandung kereta api berhenti. Tangga gerbong tinggi sekali. Tanpa berkata apa-apa, dia ulurkan tangannya. Berpegangan padanya, aku meloncat turun dari kereta. Aku mulai menyukainya.

Di kamar hotel, kami berebutan kamar mandi. Tentu saja dia mengalah. Sambil mandi, aku kembali berpikir, apa yang akan kulakukan bersamanya di tempat terpencil seperti ini?

Malam itu kami nonton televisi yang acaranya tak menarik tapi tak seorangpun berusaha mengganti saluran. Di ranjangku, aku bahkan mulai mengantuk. Dia pun hampir tidur di ranjangnya. “Kemarilah,” kataku. Dia memandangku, tak bergerak. “Kemarilah,” kataku lagi. Dia mengambil bantalnya, meletakkannya di samping bantalku dan menyelinap masuk selimut. Acara televisi makin tak menarik. Sambil mengantuk kami bicara pelan-pelan tentang apa saja. Lalu begitu saja, kami bercinta. Bagaimana mulai, bagaimana berakhir, aku tak ingat lagi. Yang kuingat, aku terjaga subuh hari dan kupikir aku berada di rumah, di ranjangku yang lebar, hingga aku membalikkan badan seenakku dan melayang jatuh ke lantai karena ternyata aku tidur di pinggir ranjang. Sebelum aku menabrak ubin, dia meraih tubuhku dan menarikku kembali ke atas ranjang. Oh. Dia memelukku dari belakang. Nafasnya lembut di tengkukku. Tubuhnya telanjang, menempel pada tubuhku yang telanjang. Kami berhimpitan seperti dua buah sendok.

Sebelum tidur kembali menyergapku, aku sudah jatuh cinta padanya.

Sejak pagi itu aku tak lagi memikirkan apa yang akan kulakukan bersamanya. Malah kulakukan apa saja bersamanya. Setiap malam kami tidur berpelukan. Telanjang. Atau setengah telanjang. Karena dia tinggi besar, sah saja aku menindih dia, toh dia tak bakal gepeng kena berat badanku. Sesekali malah katanya, “Sini, di atasku.” Aku suka menciumi dia. Sembari bercinta, dia belai-belai rambutku, ciumi aku. Aduh, aku mabuk kepayang.

Dia pandai membuatku merasa dilindungi. Waktu naik angkot, jalanan rusak, angkot terbanting-banting karena supir angkot merasa sedang ikut balapan Formula 1, jadi aku sibuk cari pegangan. Dia ulurkan lengannya tanpa kata-kata, maksudnya supaya aku pegangan dia saja. Bahkan sebelum naik angkot pun dia bilang dia saja yang duduk di sebelah supir. Aku tahu maksudnya, supaya pahaku jangan tersenggol-senggol supir angkot yang gonta-ganti persnelling. Dasar bandel, tetap saja aku duduk di sebelah supir karena kulihat angkot cukup lebar hingga tangan supir takkan menyenggol pahaku. Dia sempat tanya pelan-pelan, mungkin kuatir supir angkot tersinggung, “Kakimu oke?” yang kujawab dengan anggukan pelan. Juga sewaktu kami menuruni bukit-bukit, dia memegang tanganku supaya jangan aku terpeleset tanah yang licin.

Sangat sering sambil berpelukan, kami bicara berbisik-bisik tentang seribu satu hal seperti pendapat kami tentang pernikahan yang tak perlu dipestakan, karena lebih baik berwisata daripada pesta besar-besaran, dan tentang tiga ekor anjingnya yang hilang digondol maling. Kami bicara tentang hal-hal sederhana yang sedih, konyol dan lucu. Kami menyikapi hidup dengan gaya yang sama. Kami punya interest yang sama terhadap fotografi, buku, sastra, musik, film. Kami punya penghormatan yang sama terhadap agama, tradisi, keluarga. Aku merasa melihat diriku di dalam dirinya.

“Aku ingin punya saudara perempuan. Aku ingin kamu jadi kakakku,” katanya pada malam terakhir kami bersama-sama. Di atas tubuhnya aku memandang matanya yang cokelat.
“Itukah yang kamu mau?”
Dia mencium bibirku. “Aku sayang kamu,” katanya. Lalu, “Apakah hal seperti ini yang dilakukan kakak adik?”
Aku tak menjawab. Kupeluk dia erat-erat. Hatiku berantakan.

Esoknya kami tak banyak bicara dalam kereta api ke Jakarta. Juga dalam taksi yang membawa kami ke rumahku. “Hati-hati,” kataku sebelum pintu taksi tertutup dan membawanya ke bandara.

Dalam rumah yang sepi, aku melakukan semua kegiatanku sehari-hari dengan ketenangan yang bagiku sendiri sangat mengherankan. Aku bergerak seperti ada sebuah program dalam kepala yang mengendalikanku. Aku tak tahu apa yang terjadi pada diriku. Aku merasa berada dalam tubuh seorang asing yang tak kukenali.
Malam itu kutelepon Dadi.
“Satu-satunya orang yang meneleponku larut malam begini hanyalah engkau,” katanya bahkan sebelum aku mengucapkan apa-apa, seolah-olah dia sedang menantikan teleponku. “Pasti terjadi sesuatu. Ada apa?”
“Aku tak mengenali diriku sendiri.”
“Apakah kau sedang jatuh cinta?”
“Ya.”
“Lalu apa masalahnya?”
“Aku sedang patah hati.”
“Hmmm… Mau kudengarkan?”
“Mulai dari mana?”
“Dari mana saja.”
Kupandangi ubin yang putih. Kupandangi wajahku di cermin. Wajah orang asing yang tak kukenali. Lalu ceritaku mengalir begitu saja.
“Jadi kau jatuh cinta dan patah hati sekaligus,” katanya setelah aku berhenti bicara.
“Ya.”
“Apakah kau katakan padanya bahwa kau mencintainya?”
“Tentu tidak.”
“Tapi kau tidur dengannya.”
“Aku tak menyesal. Aku menginginkannya.”
“Bagaimana kalau kau hamil?”
“Pastilah kupelihara. Aku bukan pembunuh bayi.”
“Oke. Jadi sekarang bagaimana?”
“Dia sudah pulang, ke kotanya.”
“Akankah dia datang lagi?”
“Entah.”
Dadi tak mengatakan apa-apa.
“Dia sayang padaku,” kataku lagi.
“Katanya.”
Aku tak tahan lagi. Airmataku tumpah.
“Teleponlah dia malam ini.” Suara Dadi terdengar lagi.
“Apa?”
“Katakan padanya kau mencintainya.”
“Ini hampir tengah malam.”
“Kalau begitu, kirim SMS.”
“Bilang apa?”
“Katakan kau mencintainya. Dia harus tahu. Atau katakan apa saja. Apapun jawabannya, kapanpun jawabannya, telepon aku. Subuh sekalipun. Setelah itu tidurlah. Oke?”
Kuletakkan telepon. Apa yang harus kukatakan padanya? Jam menunjukkan pukul 23.45 waktu akhirnya kuketik, “Sudah kupikirkan, dan harus kukatakan padamu: maukah kamu menikah denganku? Apakah jawabmu ‘ya’ atau ‘tidak’, jawablah.” Setelah kukirim pesan itu, kumatikan lampu dan tidur.
Jam tujuh keesokan paginya, telepon genggam di dalam saku bajuku berbunyi “bip.” Lama kemudian baru kukeluarkan benda itu dari sakuku. Tanganku gemetar. Hatiku gemetar. Kubaca kalimatnya berkali-kali. Lalu kutelepon Dadi.
“Dia sudah menjawab,” kataku tanpa pembukaan.
“Kau sudah tahu jawabannya sejak semalam, waktu kau kirimkan pesanmu.”
“Ya.” Airmataku mengalir seperti banjir.
“Sekarang kau sudah mendengar dari dia sendiri.”
Aku tersedu-sedu. “Aku sangat mencintainya.”
“Aku tahu.”
“Dia sayang padaku.”
“Ya.”
Darah menitik dari hidungku. Bercampur dengan airmataku, menitik ke kemejaku yang putih. Aku mimisan lagi.
“Aku mimisan lagi,” kataku pada Dadi.
“Sore ini kuantar kau ke dokter.”
“Dokternya cuti.”
“Pendusta.”
“Aku duabelas tahun lebih tua daripadanya.”
“Dia sudah tahu itu.”
“Aku janda.”
“Dia sudah tahu itu.”
“Dia tidak menjanjikan apa-apa.” Kuseka hidungku dengan tissue yang seketika menjadi merah.
“Bagiku kau manusia luar biasa. Kau perempuan hebat, bertarung sendirian dalam segala perkara.”
“Aku capek hidup sendiri. Capek bertarung sendirian. Dia membuatku merasa aman, punya pelindung. Dan aku yakin, aku percaya, bahwa dia sungguh sayang padaku.”
“Aku sudah kenal kau sejak kau masih gadis. Aku tahu alangkah dahsyatnya bila kau mencintai seseorang. Dunia bisa kau jungkirbalikkan.”
“Aku menginginkan dia.”
“Seandainya dia mau pun, apakah sungguh kau akan menikahinya?”
Wajah Ignatius de Loyola terbayang di mataku. Rambutnya yang selalu jatuh di kening. Matanya yang lebar dan cokelat. Bibirnya yang sering kuciumi. Darah menitik lagi ke kemejaku. “Tidak.” Kujejalkan tissue ke lubang hidungku. “Tidak. Kasihan dia.”
“Nah, kau pakai logika sekarang.”
“Semua orang akan menghujat dia karena menikahiku. Semua orang yang menganggap tak layak janda cerai sepertiku, jatuh cinta dan menikahi laki-laki yang belum genap tigapuluh tahun. Kasihan dia, dilecehkan orang. Hidupnya akan porak poranda.”
“Begitulah.”
“Alangkah jahatnya masyarakat kita.”
“Seharusnya hal itu tak mengejutkanmu.”
Aku tak menghiraukannya. Kepalaku terasa ringan. Kemejaku berbercak merah di sana-sini. “Aku muak pada semua orang yang terhormat itu. Aku mau pergi dari sini. Aku tak mau, tak bisa, tak sanggup, jadi kakaknya. Karena aku akan terus mencintai dia, perempuan pada laki-laki.”
“Cinta memang kuat seperti maut.”
“Aku sangat, sangat mencintainya.”
Kudengar Dadi bicara sesuatu pada seseorang. Lalu, “Aku harus pergi. Ada meeting pagi ini. Kujemput kau nanti sore. Kita ke dokter. Kau takkan cantik lagi kalau hidungmu copot bila mimisanmu tak kau obati.”
Kuletakkan telepon tanpa menjawab. Kepalaku sangat ringan. Wajah Ignatius de Loyola berada dimana-mana.

*

“Braaakkk!!!”
Pintu terbuka dengan keras seperti didobrak perampok. Aku terlonjak dari tempat dudukku. Nyaris jatuh laptop yang sedang kupangku. Di ambang pintu Ignatius de Loyola berdiri dengan senyumnya yang khas. Alangkah eloknya dia. Rambutnya jatuh di kening, hitam, lebat. Matanya cokelat dan hidungnya mancung.
“Bukankah sudah berulangkali kukatakan padamu agar mengetuk pintu dulu sebelum masuk?” tegurku sambil meletakkan laptop ke lantai.
Dia tersenyum. Lalu melintasi ruangan. Lengan-lengannya memeluk leherku. Disembunyikannya wajahnya di dadaku.
“Mama,” bisiknya di telingaku. “Kapan kita ke Indonesia? Seperti apakah Jakarta itu? Dan aku ingin bertemu adik mama, yang kata mama sangat mirip denganku, yang namanya sama sepertiku: Ignatius de Loyola.”
Kupeluk dia erat-erat. Kuciumi pipinya. Anakku, Ignace. Aku sangat mencintainya.

*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar